Rabu, 30 November 2011

Perempuan dalam Perspektif Islam; Urgensi Fiqhunnisa dalam Pelaksanaan Ajaran Islam*)


Oleh: Rosdiana, M.Pd.**)

Pendahuluan
Memperbincangkan perempuan memang tak akan pernah ada habisnya. Sejak dahulu hingga sekarang wacana tentang perempuan selalu menjadi agenda yang sangat penting. Terlebih ketika muncul gerakan feminisme yang mempersoalkan peran perempuan yang dianggap marjinal dan subordinasi dari kaum laki-laki. Sebagian ada yang berpendapat bahwa Islam mendiskreditkan perempuan, Islam tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada perempuan.[1] Padahal jika kita melihat perempuan dalam bingkai sejarah, Islam memiliki peran yang besar dalam pembebasan perempuan.
Status perempuan dalam Islam dapat dipahami secara baik apabila diketahui status mereka pada zaman jahiliyah (periode kebodohan atau periode pra-Islam). Hal ini disebabkan karena tidak adanya revolusi, politik, atau sosio-keagamaan yang dapat menghapus semua jejak masa lalu. Sebagaimana diketahui, pada masa pra-Islam, perempuan tidak mendapatkan hak apa-apa dan diperlakukan tidak lebih dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tetapi juga dapat diwariskan sebagaimana harta benda.[2] Saat itu, perempuan dijadikan golongan kasta terendah dalam penggolongan manusia. Kemudian juga jika dilihat dalam potret buram keadaan perempuan saat ini, perempuan menjadi objek eksploitasi masyarakat barat yang memiliki budaya laissez faire. Kisah sedih ini justru merupakan buah ‘pembebasan’ feminisme. ‘Pembebasan’ yang malah menghasilkan angka yang tinggi pada pembunuhan janin, prostitusi, pemerkosaan, perceraian dan  single parent (baca: single mother). Penindasan kuno yang tetap lestari dalam kemasan baru.[3]
Dengan demikian, kedudukan kaum perempuan sebelum era Islam sungguh memprihatinkan. Sebagai contoh, di Jazirah Arab sebelum Islam datang, keadaan kaum perempuan sangatlah buruk. Perempuan hanya dihormati jika orang tuanya menjadi raja atau ketua kabilah atau ia jagoan dan ditakuti masyarakat Arab. Perempuan sama dengan barang. Maka, terjadilah istilah budak; seorang perempuan yang menjadi budak bebas untuk dijual kepada siapa saja yang membutuhkannya. Atau, ia menjadi perempuan penghibur dengan melantunkan lagu-lagu disertai tarian erotis. Dan, tidak jarang perempuan dijadikan selir oleh raja-raja untuk memenuhi nafsu mereka.[4] Dalam hal ini, tidak ada pembatasan tentang jumlah istri yang dapat dimiliki oleh seorang laki-laki.
Dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa bangsa Arab pra-Islam sangat tidak suka dengan kehadiran perempuan, karena ia dianggap tidak bisa berperang, lemah dalam ingatan, lemah fisik, dan banyak lagi tuduhan lainnya. Setiap kali ada bayi lahir yang berwujud perempuan, secara serta merta bapaknya tega membunuh anaknya sendiri dengan cara menguburkan anaknya hidup-hidup.[5] Hal ini disebabkan oleh dua motif, yaitu takut kalau pertambahan keturunan perempuan akan menimbulkan beban ekonomi, dan juga takut akan hinaan yang sering kali disebabkan oleh para gadis yang ditawan oleh musuh, kemudian dijadikan kebanggaan bagi penculiknya di hadapan para orang tua dan saudara laki-lakinya. Dengan demikian, mereka beranggapan bahwa kalau anak perempuan lahir akan membawa celaka.
Tidak jauh berbeda dengan hal itu, beberapa agama juga memandang perempuan sebagai sesuatu yang hina dan menjadi penyebab kerusakan. Agama-agama tersebut tidak memposisikan perempuan pada proporsi yang seharusnya. Di antara beberapa doktrin agama terhadap perempuan adalah sebagai berikut. Kaum perempuan hanyalah jerat penggoda yang sangat berbahaya di hadapan laki-laki, perempuan selalu memutar-balikkan kebenaran serta selalu berkata dusta, dan lain sebagainya.[6]
Dalam tradisi agama Hindu, terdapat pemahaman bahwa orang tua boleh menjual anak perempuannya, perempuan tidak mendapat warisan, mengorbankan gadis kepada para dewa sebagai persembahan, kalau suaminya mati perempuan dianjurkan ikut membakar diri di dalam kayu yang membara bersama suaminya, dan perempuan tidak boleh mencari kebebasan.[7]
Kemudian dalam agama Yahudi, perempuan dianggap selalu dalam kutukan dewa, selalu berdosa sejak lahir dan harus dihukum, serta perempuan hanyalah dianggap sebagai hiasan rumah. Di samping itu, perempuan hanyalah sebagai budak, jadi orang tuanya berhak menjualnya kepada siapa saja, dan kehadirannya merupakan laknat bagi alam semesta. Sebagian tradisi Kristiani juga mempersepsikan perempuan sebagai penyebab kehancuran umat, sumber segala dosa dan kesalahan, serta tidak berhak untuk mendapat kesempatan dalam segala urusan karena ia mempunyai pikiran yang lemah.[8]
Dari uarian di atas dapat diketahui bahwa pada masa-masa sebelum Islam, kedudukan perempuan sangat terhina. Hak-haknya dirampas dan ia dituduh menjadi akar permasalahan bila terjadi kerusakan dan keributan di masyarakat. Pada saat eksistensi perempuan tergadaikan, Islam datang bagaikan cahaya rembulan di malam hari. Melalui Al-Qur’an dapat diketahui bahwa pada saat kedudukan perempuan dihinakan dan dijadikan barang komoditi, sejumlah permpuan muslimah muncul dalam pentas sejarah. Mereka mengibarkan bendera kesamaan, kesetaraan, dan lain-lain. Mereka membuktikan bahwa perempuan mampu berbuat seperti layaknya laki-laki.

Perempuan dalam Perspektif Islam
Islam datang untuk menghancurkan kezaliman dan mendobrak kegelapan yang menyelimuti status perempuan. Ia datang mengembuskan atmosfir kemerdekaan serta mengangkat harkat dan martabat perempuan dari kehinaan menuju kemuliaan. Penindasan terhadap hak-hak perempuan tidak akan terjadi kalau umat Islam sendiri sadar akan pentingnya perempuan dalam kelanjutan sebuah risalah nan suci.[9]
Misi perubahan yang secara tegas disebutkan dalam Al-Qur’an mengenai status perempuan untuk mengubah konsep dan praktik masyarakat Arab pada masa pra-Islam meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) larangan mengubur anak perempuan hidup-hidup; (2) batasan poligami maksimal hanya sampai empat; (3) kebolehan bercerai sangat ketat yang secara prinsip suami dan istri mempunyai hak yang sama; (4) perubahan aturan tentang waris, bahwa di samping perempuan tidak boleh lagi diwariskan, perempuan juga mendapat warisan; (5) adanya pelimpahan tanggung jawab individu. Ini semua menunjukkan misi pokok Islam untuk menyejajarkan perempuan dan laki-laki dalam segala aspek kehidupan.[10]
Perempuan dalam pandangan Islam sesungguhnya menempati posisi yang sangat terhomat. Pandangan Islam tidak bisa dikatakan mengalami bias gender. Islam memang kadang berbicara tentang perempuan sebagai perempuan (seperti dalam soalnya haid, mengandung, melahirkan dan kewajiban menyusui) dan kadang pula berbicara sebagai manusia tanpa dibedakan dari kaum lelaki (misalnya: dalam hal kewajiban shalat, zakat, haji dan berakhlaq mulia, beramar ma’ruf nahi mungkar, makan dan minum yang halal dan sebagainya). Kedua pandangan tadi sama-sama bertujuan mengarahkan perempuan secara individual sebagai manusia mulia dan secara kolektif , bersama dengan kaum lelaki, menjadi bagian dari tatananan ( keluarga dan masyarakat ) yang harmonis.
Maka pada saat Islam mewajibkan istri meminta pada suami bila hendak keluar rumah atau puasa sunnah misalnya, sementara untuk hal yang sama suami tidak wajib meminta izin pada istri; juga ketika menetapkan tugas utama istri sebagai Ummu(Ibu) dan Rabbatul Bait (Pengatur rumah tangga), hak talak pada suami, sesungguhnya Islam tengah berbicara tentang keluarga bukan tentang pribadi-pribadi,orang perorang lelaki atau perempuan, serta kehendak untuk mengatur agar tercipta tatananan yang harmonis tadi .
Tuduhan bahwa penetapan peran domestik perempuan dalam Islam dan kewajiban berjilbab adalah bias lelaki, hanya benar bila itu dipandang per-individu perempuan, bukanlah sebagai suatu mekanisme rasional yang harus ditempuh bila kita menginginkan terciptanya struktur keluarga yang kuat dimana hubungan antara lelaki dan perempuan saling menunjang serta upaya penataan hubungan antara lelaki dan perempuan dalam masyarakat agar etika pergaulan terjaga .
Keluarga harmonis dan bahagia, serta masyarakat yang mulia, bukankah itu yang diidam kan oleh setiap manusia. Sehingga tidaklah tepat bila dikatakan bahwa kewajiban-kewajiban seperti itu bias gender (sangat maskulin) dan mereduksi peran perempuan sebagai manusia. Kita akan gagal memahami kehendak Islam dalam masalah ini bila kacamata pandangan kita terhadap persolan eksistensi manusia (lelaki dan perempuan) di dunia tidak diubah.
Sementara Islam berbicara tentang kewajiban wajibnya perempuan berda’wah, mendidik umat, dibidang politik menjadi anggota majelis syuro umpamanya, dan untuk itu ia harus keluar rumah. Maka Islam tengah berbicara tentang masyarakat dan peran perempuan dalam membentuk masyarakat yang baik. Tapi diluar dua hal diatas, Islam sama sekali tidak menghilangkan keberadaan perempuan sebagai individu. Ia dibolehkan untuk menuntut ilmu, berpendapat, bekerja, memgembangkan hartanya, memimpin sendiri usahanya dan sebagainya. Jadi tuduhan terdapat bias gender dalam ajaran Islam sangatlah tidak beralasan.
Memang tercatat dalam sejarah sekian peristiwa yang menunjukkan gugatan perempuan Islam dimasa lalu akan tetapi semua itu bukanlah dilandasi oleh dorongan seks demi kepuasan kaum perempuan semata, melainkan demi kesamaan kesempatan menuju derajat kemulian seseorang muslimah. Lihatlah tatkala mereka datang kepada Rasullah mengajukan tuntutannya “ya Rasullah mengapa hanya laki-laki saja yang disebut al-qur’an dalam segala hal, sedangkan kami tidak disebut?” Maka Allah Kemudian menurunkan ayat yang menunjukkan bahwa lelaki dan perempuan sesungguhnya memiliki peluang sama untuk menjadi makhluk yang mulia.
Sesunguhnya laki–laki dan perempauan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang sabar. Laki- laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya , laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”(Q.s.An-Nisaa’:32).

Pada saat ini, perempuan Islam dimasa Rasullah meminta agar diadakan pertemuan khusus buat perempuan buat mereka dalam mempelajari ilmu dan Nabi memenuhi kehendak mereka dengan memberikan waktu khusus.Islam memang mewajibkan menuntut ilmu bagi perempuan dan laki-laki. Karena didorongan mencari ilmu, inilah lelaki dan perempuan Islam saling bersaing dalam merenguk ilmu. Aisyah dikenal pada zaman permulaan Islam sebagai “orang yang paling ahli fikih, Kedokteran dan puisi”. Sekian hadits sampai kepada kita melaui periwayatan Aisyah.
Demi menegakkan kebenaran tidak segan pula bertindak terhadap pemimpin negara sekalipun. Pada suatu hari, Amirul mu’minin Umar Bin Khattab mengeluarkan keputusan hukum yang melarang perempuan menetapkan mahar yang terlalu mahal, serta menentukan batas-batasnya. Seorang perempuan tiba-tiba saja memprotes dan mengingatkan satu ayat di dalam al-Quran” (Q.S.An-Nisa:20):

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang diantara mereka harta yang banyak maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun darinya. Apakah kamu akam mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata”(Q.s.An-Nisaa’:20).

Kemudian Umar mencabut kembali peraturan itu sambil berkata “Perempuan itu benar dan Umar itu salah”. Kisah ini menunjukkan kebebasan perempuan untuk melakukan protes politik. Jauh sebelum Betty Friedan memimpin gerakkan perempuan di AS, bahkan jauh sebelum revolusi Perancis meneriakkan Liberte, Egalite et Fraternity”.
Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa Islam memiliki peranan yang sangat besar dalam pembebasan perempuan. Hal ini bisa dilihat pada misi perubahan yang secara tegas disebutkan dalam Al-Qur’an mengenai status perempuan tersebut, setidaknya dapat menjawab berbagai tuduhan terhadap Islam mengenai perempuan. Misalnya, masalah kesetaraan perempuan dalam urusan spiritual, masalah perkawinan, masalah poligami, masalah perceraian, masalah kesopanan, dan masalah ekonomi (termasuk di dalamnya masalah warisan). Kemuliaan perempuan dalam Islam setidaknya bisa kita ketahui dengan melihat bagaimana Islam menempatkan posisi seorang ibu. Dalam Islam, seorang anak mesti patuh pada kedua orang tuanya. Namun, ketaatan kepada ibu harus didahulukan daripada ketaatan kepada ayah. Hadist yang populer menyebutkan bahwa pelayanan terbaik seorang anak didahulukan kepada ibunya tiga kali dibanding kepada ayahnya. Bahkan, pada hadis lain disebutkan bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu.
Konsep tentang asal penciptaan perempuan merupakan isu yang sangat penting dan mendasar untuk dibahas, karena konsep kesetaraan dan ketidak-setaraan laki-laki dan perempuan berakar dari konsep penciptaan ini.[11]
Al-Qur’an memang tidak menyebutkan secara terperinci mengenai asal-usul penciptaan perempuan. Namun, Al-Qur’an menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya, baik yang lelaki maupun yang perempuan.[12]
Mengenai penafsiran Surah an-Nisa’ [4] ayat 1, Riffat Hasan (yang pemikirannya sejalan dengan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha) berpendapat bahwa Adam dan Hawa diciptakan secara serempak dan sama dalam substansinya, sama pula dalam caranya. Jadi, bukan Adam diciptakan terlebih dahulu dari tanah, baru kemudian Hawa dari tulang rusuk Adam.[13]
Di samping itu, Riffat Hasan juga menolak riwayat hadis yang menceritakan asal-usul penciptaan perempuan yang dipahami oleh hampir keseluruhan umat Islam secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Sebab, pemahaman ini kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaan perempuan dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut.
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Sebab, ada sifat, karakter, dan kecenderungan perempuan yang tidak sama dengan lelaki, di mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha, akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[14]
Kemudian, Al-Qur’an juga mengikis pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan. Al-Qur’an mengecam mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan.
Dan, apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah, alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu.
(Q.S. an-Nahl [16]: 58-59).

Dengan demikian, terlihat bahwa Al-Qur’an mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal-usul penciptaannya.

Definisi Fiqh
Dari segi terminologi, para ulama mendefinisikan fiqh sebagai “pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci berkenaan dengan perbuatan manusia”.
Disebut fiqh, karena apa yang dikenal kebanyakan orang sebagai ajaran Islam, pada awalnya sebenarnya adalah merupakan fiqh, atau ijtihâd ulama dari sumber-sumber otoritatifnya. Fiqh yang dimaksud ini, termasuk juga tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’ân dan teks-teks hadits, serta ijtihâd dari gabungan antara teks-teks tersebut dengan tuntutan-tuntutan rasionalitas dan kontekstualitas.
Dalam tatanan praktis, definisi ini menghadirkan dua dimensi sekaligus, yakni disamping sebagai hukum positif yang legitimate, fiqh juga memancarkan dimensi etis yang menjadikannya sebagai standar moral kehidupan umat Islam.
Mengutip Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa manusia adalah “domenieering being”, sosok makhluk yang berwatak dasar selalu ingin mendominasi dan menaklukkan yang lainnya serta berpeluang untuk menciptakan konflik dan ketidakaturan. Di sinilah peran fiqh hadir guna mengarahkan kehidupan umat manusia menuju keteraturan hidup di atas rel hukum-hukum Allah Ta’ala.
Fiqh merupakan kumpulan hukum Allah yang komprehensif (syumul). Di dalamnya tidak hanya diatur bagaimana berinteraksi dengan Allah (fiqh al-ibadat), atau aturan personal (fiqh as-suluk), interaksi dalam keluarga (fiqh al-usroh), namun juga memendarkan dimensi sosial (fiqh al-mu’amalat) bahkan mengatur hubungan multilateral antarnegara (fiqhul ’ilaqat ad-dualiyyah) yang kesemua itu mengarah pada satu titik menuju harmonisasi dan keteraturan hidup umat manusia.
Jadi dapat disimpulkan fiqh adalah ilmu yang mempelajari ilmu-ilmu syar’I yang terkait ilmu dan praktek yang diambil dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Al Hadist yang terinci.

Urgensi Fiqhunnisa dalam Pelaksanaan Ajaran Islam
Belajar fiqh merupakan perintah Allah dan Rosulnya. Fiqh lebih banyak dibahas dan dipelajari dalam Islam. At-Taubah(9): 122;
Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan tidak memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya

Sampai suatu ketika Rosul pernah mendoakan salah seorang sahabat agar menjadi seorang yang paham akan fiqh, demikian pentingnya pemahanman akan fiqh Islam yang harus dikuasai umat Islam. Selain itu, dengan mempelajari fiqh akan menunjukkan Siyamul Islam (Kesempurnaan Islam), dimana Islam mengatur masalah umat mulai dari masalah Negara sampai masalah istinjak kita sehari-hari. sehingga dengan memahami ilmu fiqh kita dapat memahami islam secara kaffah yaitu baik dan benar. ilmu dalam Islam paling banyak terkonsentrasi dalam fiqh karena terkait dengan amaliyah (praktek).
Suatu ketika rosulullah berjalan bersama seorang sahabat melewati sebuah makam, sahabat bertanya suara apakah itu rosul, rosul menjelaskan bahwa sang ahli kubur sedang disiksa karena saat beristinjak tidak bersih dank arena itulah sholatnya menjadi tidak sah. demikian pentingnya kita mempelajari fiqh agar semua amal ibadah kita diterima Allah.
Adapun dengan belajar fiqh, kita akan mendapatkan kehidupan yang barokah, sesuai Firman Allah QS. Al-A’raf (7): 96;
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka kami siksa mereka sesuai apa yang telah mereka kerjakan

Belajar fiqh diharapkan akan memiliki sikap tasawuf (solider, toleran) kepada orang lain, hal yang tidak boleh dilakukan yaitu menghancurkan persatuan ummat.
Dengan mempelajari fiqh kita akan mengetahui mujahadahnya (pentingnya/keseriusan) para salafus sholeh dalam menuntut ilmu, kita dapat mengetahui sebagaimaan tasawuf para sakafus sholeh pada masa dahulu.
Fiqh Perempuan sebenarnya bisa berarti tiga hal; pertama fiqh yang membahas isu-isu perempuan [fiqh tentang perempuan], kedua fikih yang membela dan menguatkan pemberdayaan perempuan [fiqh berperspektif perempuan] dan ketiga fiqh yang ditulis perempuan.
Zaman modern dan era globalisasi telah membelenggu hidup manusia dalam materalisme, konsumerisme, militerisme dan sentralisme. Kapitalisme telah mengubah hidup menjadi persaingan yang sangat kompetitif, dan cenderung akan menggilas perempuan yang tidak mampu bertahan dengan perubahan. Naluri perempuan, secara positif, adalah menjadi ibu yang penuh tulus melahirkan generasi masa depan lewat cinta kasihnya. Namun, dampak modernisme dan globalisasi, pada sisi negatif, kelembutan perempuan dipakai sebagai lahan bisnis, mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Gerak lemah gemulainya dieksploitisir. Misal saja, iklan kosmetik yang memakai sosok perempuan bertebaran di media seperti kehendak modal. Belum lagi iklan-iklan lainnya, yang terlihat sangat vulgar dan menonjolkan lekuk-lekuk tubuh perempuan. Keadaan ini mengakibatkan pelecehan dan tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan kian marak. Penjualan (trafficking) manusia semakin memprihatinkan. Indonesia meraih peringkat ketiga terbesar dalam jumlah kasus trafficking.
Di samping itu, di tengah desakan modernisme dan globalisasi yang mengharuskan manusia berkualitas dan mempunyai produktivitas kerja, perempuan tidak terlepas dari prasangka sosial. Nilai kepantasan dan ketidakpantasan tercermin dari beragam tradisi di masyarakat, menuntut perempuan untuk berani dan bertahan dari keterbatasan yang terkondisikan. Kenyataan lain, kerasnya hidup jalanan mengharuskan perempuan lebih mampu melindungi diri sendiri dari kekerasan. Disinilah perlunya, perlindungan hukum dan pemihakan agama terhadap perempuan (fiqh perempuan), guna menghindarkan perempuan dari ekploitasi yang tidak memperdulikan rasa kasih dan sayang.
Perempuan sumber kasih sayang. Kelembutannya laksana taburan cahaya bintang yang dimulyakan oleh Allah SWT. Fiqh perempuan dan aturan hukum yang jelas dibutuhkan untuk melindungi peran perempuan dari eksploitasi.
Penegasan untuk memberikan perlindungan ini diisyaratkan secara tegas dalam firman Allah QS. Ar-Rum (30):21;
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung da merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.

Pada Ayat tersebut ditegaskan, bahwa perempuan memiliki sifat kepekaan, perasa, dukungan dan perhatian untuk menjalankan fungsi sebagai istri dan ibu. Agar perempuan bisa melakukan fungsi dan memperoleh martabatnya, maka diperlukan perlindungan perempuan dari kekerasan.Bagaimana persisnya? Perlindungan yang dimaksud ialah, menjaga dan memberikan peran kepada perempuan untuk mencapai fungsinya secara maksimal untuk menggapai kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya.
Eksistensi perempuan sebenarnya tercermin dalam surat An-Nisaa’. Surah ini membicarakan perempuan. Bagaimanapun, Allah telah mengingatkan kepada manusia, bahwa perempuan diciptakan dari jenis yang sama dan harus diperlakukan dengan mulya dan terhormat. Apabila dalam kenyataan, perempuan mengalami kekerasan yang biadab akibat peran yang tidak adil, maka sesungguhnya mereka itu telah melakukan perbuatan yang lalim. Islam sangat melindungi laki-laki dan --sekaligus juga-- perempuan.
 Dalam surah An-Nisaa’(4): 40;
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dengan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar

Maksud ayat tersebut ialah, bahwa Allah tidak akan mengurangi pahala orang-orang yang mengerjakan kebajikan walaupun sebesar zarrah, bahkan kalau ia berbuat baik pahalanya akan dilipat gandakan oleh Allah. Ayat tersebut mendorong laki-laki dan perempuan untuk merubah tradisi pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam, manusia, agar diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa membedakan jenis kelamin.
Perempuan berhak mengetas harapan dan kehendaknya, bebas memilih dan bertanggung jawab, mampu membedakan antara yang baik dan jelek. Sehingga dengan kreativitasnya, perempuan mendapatkan tempat dan memperoleh jalan mewujudkan cita hidupnya dengan maksimal. Pencerahan perempuan dibutuhkan. Pencerahan merupakan kebalikan dari eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pencerahan akan mendorong laki-laki dan perempuan untuk bergerak mengelola zaman ini dengan lebih baik. Pencerahan perempuan yang terpenting pada bentuk tindakan, bukan sekedar ucapan. Bagaimana caranya? Menerapkan cinta kasih, rendah hati, toleransi dan sikap hormat kepada perempuan. Sikap-sikap ini adalah cerminan prinsip Islam.
Maka pencerahan perempuan akan datang dari nalar mandiri yang akan melahirkan kehendak subjektif. Perempuan yang mandiri dan memperoleh kesempatan luas, maka akan melahirkan karya dari lubuk hatinya dalam membawa perbaikan kualitas hidup. Memperoleh kesempatan yang setara bagi perempuan tidak datang dengan sendirinya, melainkan menuntut usaha bersama. Perempuan harus menunjukkan kemampuannya dan berusaha secara gigih memperoleh kesempatan untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Menarik diri dan bersikap fatalis dengan menyerah dan menanti kesempatan tanpa berbuat sesuatu adalah sikap yang membawa kemunduran bagi eksistensi diri. Perempuan sendiri harus membuka kerja sama dengan beragam akses jaringan. Karenanya, guna memaksimalkan peran perempuan, fiqh perempuan mutlak dibutuhkan.

Sinergisitas Pemahaman Fiqhunnisa dalam Pelaksanaan Ajaran Islam sebagai Bentuk Perjuangan HMI-Wati di Rumah Kedamaian
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa perempuan (muslimah) mempunyai peran yang sangat besar dalam pembentukan generasi umat. Namun hendaknya dipahami bahwa perempuan berkualitas tersebut tidak bisa didapatkan dengan hanya berdiam diri. Perlu dilakukan pembinaan secara rutin dan berkesinambungan agar para perempuan memiliki aqidah dan berkepribadian Islam yang tinggi, serta memahami peranannya sebagai anak, istri, ibu, dan anggota masyarakat.
Pembinaan perempuan semacam ini akan mudah dilakukan jika terdapat suasana dan sistem yang kondusif (KOHATI sebagai rumah kedamaian), karena sistemlah yang akan memasukkan program peningkatan kualitas perempuan HMI atau HMI-Wati, maupun sarana dan prasarananya.
Adapun solusi praktis untuk membumikan fungsi dan peranan HMI-Wati sebagai anak, istri, ibu, dan anggota masyarakat, pertama dan utama saat ini adalah mengajak mereka, para HMI-Wati yang berkualitas untuk kembali ke rumah (KOHATI), mendidik HMI-Wati lainnya dengan penuh kasih sayang, sekaligus memberi contoh dan teladan bagi para MI-Wati lainnya yang mengalami kesulitan. HMI-Wati yang berkualitas ini haruslah dikembalikan kepada fitrahnya sebagai seorang anak, istri, ibu, dan anggota masyarakat yang memiliki tugas dan tanggung jawab saling membina. KOHATI sebagai lembaga dengan anggotanya HMI-Wati harus mampu membentuk perempuan berkualitas yang menjadi tauladan zaman, seperti ibunda Khalifah Umar bin Abdul ’Aziz seorang khalifah yang mampu menjalankan amanahnya sebagai seorang pemimpin dengan baik, ibunda Imam Syafi’i yang mendidik anaknya sehingga menjadi seorang mujtahid, ataupun ibunda Imam Al Bukhari seorang ahli hadits terkenal. Dengan mensinergiskan pemahaman fiqhunnisa dalam melaksanakan ajaran Islam, melalui pembinaan yang terarah dan terukur, maka perjuangan HMI-Wati dalam rumah kedamaian (KOHATI) untuk mencapai tujuan terbinanya muslimah yang berkualitas insan cita, yang akan melahirkan generasi yang siap menaklukkan dunia agar tunduk pada hukum Allah SWT.

_________
  *) Makalah disampaikan pada LKK KOHATI HMI Cabang Palembang Tingkat Nasional, Mess Pertiwi, 24 November 2011
**) Guru Mata Pelajaran Fisika SMAN 1 Muara Sugihan Kabupaten Banyuasin

Daftar Pustaka
[1]Witri Asriningsih, “Pengantar”, dalam Yusuf al-Qardhawi, Perempuan dalam Perspektif Islam, terj. Ghazali Mukri, Cet. Ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2006), hlm. v.
[2]Irfan Habibie, “Wanita dalam Islam dan Feminisme”, dalam www.hati.unit.itb.ac.id, 12 Desember 2009.
[3]Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 33.
[4]Witri Asriningsih, “Pengantar”, hlm. ix.
[5]Q.S. at-Takwir [81]: 9.
[6]Witri Asriningsih, “Pengantar”, hlm. x.
[7]Ibid.
[8]Ibid., hlm. xi.
[9]Ibid., hlm. xiii.
[10]Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman tentang Wanita (Yogyakarta: Tazzafa bekerja sama dengan ACAdeMIA, 2002), hlm. 42.
[11]Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, hlm. 166.
[12]Q.S. an-Nisa’ [4]: 1.
[13]Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Partriarkhi, terj. Tim LSPPA (Yogyakarta: LSPPA dan Yayasan Prakarsa, 1995), hlm. 48, sebagaimana dikutip Yuhanar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufasir (Yogyakarta: LABDA Press, 2006), hlm. 98.
[14]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hlm. 271.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar