Oleh: Rosdiana
A. Pendahuluan
Era otonomi dalam bidang pendidikan di Indonesia
sudah berlang-sung kurang lebih satu dasa warsa. Otonomi ini sejalan
dengan tuntutan agar perguruan tinggi secara institusional menghasilkan
lulusan yang mampu bersaing dalam dunia global (global competetiveness)
di dunia kerja. Persaingan ini, lebih jauh dalam arti sebenarnya,
diharapkan mampu membawa trade mark perguruan tinggi yang dapat
berkompetisi di tingkat nasional dan menyiapkan SDM yang mampu bersaing
secara global.
Perguruan tinggi harus tetap exist dan bertahan
untuk meng-hadapi persaingan global. Untuk menghadapi persaingan global
perguruan tinggi dituntut menghasilkan lulusan (output) yang memiliki
kemampuan yang berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap untuk
bertindak secara cerdas (intelligence). Untuk mencapai maksud di atas,
perguruan tinggi harus berani menghadapi perubahan yang terjadi. Dalam
rangka menghadapi tuntutan perubahan dan dunia kerja bagi lulusannya,
perguruan tinggi harus mempu menyesuaikan diri. Agar hal-hal tersebut
berjalan seiring, perguruan tinggi perlu melakukan perubahan-perubahan
baik secara kelembagaan maupun segi kuriku-lumnya
Perubahan
kelembagaan dilakukan dengan cara menata pola kerja dan oraganisasi
lembaga, termasuk memperbaiki iklim kerjanya se-hingga diharapkan
meningkatkan produktivitas kerja staf akademik dan lulusannya. Selama
dua dekade terakhir, pendidikan tinggi terus menata dan mereorganisasi
kurikulumnya. Penataan dan reorganisasi ini didorong oleh adanya
tuntutan kebutuhan masyarakat, social demand, yang bersifat dinamis. Ini
berati kebutuhan masyarakat yang selalu berubah memiliki implikasi
berubahnya kurikulum, karena apabila tidak dilakukan segera lembaga
pendidikan termasuk perguruan tinggi akan tertinggal, atau ditinggalkan
oleh masyarakatnya. Untuk itulah, perguruan tinggi perlu melakukan
perbaikan dan perubahan kurikulumnya. Proses membuat keputusan untuk
melakukan perbaikan atau revisi atau rekonstruksi kurikulum inilah kita
kenal dengan pengembangan kurikulum. Oliva (1992) menyatakan,
�Curriculum development is seen here as the process for making
programmatic decisions and for revising the product of those decisions
on the basis of continous and subsequent evaluation.�
Perubahan
kurikulum dilakukan secara selektif, adaptif dan fleksibel sehingga
lulusannya mampu memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat. Secara
selektif, artinya bahwa substansi kurikulum atau pengalaman belajar
mahasiswa dipilih yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan minat
mahasiswa serta menunjang pencapaian visi dan misi kelembagaan.
Adaptif, artinya kurikulum yang disusun dapat menyesuaikan dengan irama
kondisi lingkungan. Kurikulum yang adaptable yaitu kurikulum yang
disusun mampu memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. Oleh sebab
itu, kurikulum disusun hendaknya selalu dapat menyesuikan dengan keadaan
masyarakat atau stakeholdernya.
Fleksibilitas kurikulum
dilakukan melalui fleksibiltas program-program yang ditawarkan dan
selalu mengikuti tuntutan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.
Fleksibilitas sebagai salah satu prinsip penyusunan kurikulum, bahwa
kebutuhan masyarakat dan dunia kerja yang selalu berkembang dapat
dipenuhi oleh kurikulum.
Sejalan pula dengan perubahan-perubahan
yang terjadi seba-gaimana di sebut di atas, pemerintah telah
mengeluarkan keputusan, yaitu Kepmendiknas nomor:232/U/2000 yang
berkaitan dengan Pedo-man Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan
Hasil Belajar Ma-hasiswa. Dalam pedoman tersebut diatur tentang ragam
kelompok matakuliah (MPK, MKK, MKB, MPB, MBB).Sebagai tindak lanjut,
Kep-mendiknas di atas dikeluarkan juga Kepmendiknas o45/U/2004 ten-tang
Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Kurikulum ini menegaskan bahwa
kurikulum inti ini memuat kompetensi yang harus dicapai oleh mahasiswa.
Kompetensi ini memuat unsur-unsur sebagaimana yang tertuang dalam
keputusan nomor 232/U/2000. Namun demikian, pedoman untuk melaksanakan
masih belum menyertai kebijakan tersebut. Untuk itu, perguruan tinggi
perlu mengambil prakarsa dalam rangka menindaklanjuti keputusan
tersebut. Lagipula, perguruan tinggi harus mengantisipasi adanya
tuntutan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
B. Landasan Perubahan
Seiring
dengan pembaharuan dan perubahan kurikulum perlu segera dilakukan
penyesuaian-penyesuaian. Perubahan-perubahan ter-sebut sangat penting
dan tidak bisa dihindari, karena melalui peru-bahan tersebut kehidupan
akan terus tumbuh dan berkembang (Oliva, 1992). Perubahan kurikulum di
Indonesia didorong oleh beberapa faktor. Faktor-faktor pendorong ini
meliputi sebagai berikut, yaitu: 1) politik atau kebijakan, 2) dinamika
masyarakat, 3) perkembangan ilmu dan teknologi, 4) ideologi masyarakat,
dan 5) historis dan sosiologis.
1. Politik atau Kebijakan
Pelaksanaan
kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, faktor
politis telah memberikan warna pada kuriku-lum yang berlaku. Hal ini
terlihat pada implementasi atau pemberlakuan Undang-undang nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini memberikan
kewenangan atau otonomi kepada daerah untuk mengatur sendiri rumah
tangganya. Pelaksanaan Undang-undang ini diikuti pula dengan perubahan
pengelolaan pendidikan, yaitu dari pusat (sentralistik) ke daerah
(desentralistik). Otonomi pendidikan ini semakin memberikan peluang
besar bagi lembaga, pendidikan tinggi untuk berinisiatif mengubah
kurikulumnya dengan menyesuaikan dengan kebutuhan daerah di satu pihak,
dan kebutuhan yang lebih luas agar perguruan tinggi mampu bersaing di
pasar global. Peluang untuk bersaing bagi perguruan tinggi diawali
dengan dikeluarkan Kepmendiknas baik SK nomor 232/U/2000 tentang pedoman
penyusunan kurikulum PT dan penilaiann hasil belajar mahasiswa maupun
nomor 045/U/2002 tentang perubahan Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi.
Keputusan ini sekaligus menjadi landasan bagi perubahan kurikulum secara
mendasar. Kurikulum pendidikan tinggi tersebut memuat baik kurikulum
inti maupun kurikulum institusional. Secara pendek kata, kurikulum
pendidikan tinggi tersebut mengandung keputusan politik, curriculum
policy, baik pada tataran tingkat pusat (nasional) maupun tataran
kelembagaan instituional.
2. Tuntutan Masyarakat
Selain faktor
politik, tuntutan masyarakat dan dunia kerja menjadi pertimbangan dalam
perubahan kurikulum. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat selalu
berubah secara dinamis (dinamika masyarakat). Tuntutan kebutuhan
maysarakat semakin kompleks dan bersifat terus menerus. Suatu kebutuhan
telah tercapai maka muncul kebutuhan lainnya. Misalnya, kebutuhan dalam
bidang komunikasi diikuti oleh kebutuhan akan sumber daya manusia yang
mampu dalam bidang komunikasi, kebutuhan akan alat bantu pengolah data
dengan perangkat komputer menuntut kebutuhan sumber daya manusia yang
mampu mengoperasikan dan melakukan pengolahan data dengan komputer, dan
seterusnya.
Tuntutan kebutuhan masyarakat akan lulusan perguruan
tinggi terkait denagn kualitas penguasaan kemampuan spesialisasi
tertentu sehingga PT perlu menyiapkan lulusan menguasai bidang-bidang
ter-tentu, spesialis. Di pihak lain, perguruan tinggi perlu menawarkan
lulusan yang memiliki kemampuan umum yang pembenatukan keahliannya
dilakukan secara paralel dengan perkembangan dunia kerja. Perihal ini
terkait dengan penyiapan kurikulum spesialis, subject matter curriculum
di satu pihak dan penyiapan kurikulum yang generalis, umum.
3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Tuntutan
dinamika masyarakat di atas, menyebabkan dan/atau disebabkan oleh
adanya perkembangan ilmu dan teknologi. Munculnya teori-teori baru dari
cabang ilmu tertentu merupakan hasil percobaan-percobaan manusia.
Munculnya ilmu pengetahuan baru telah pula diaplikan oleh manusia untuk
membantu mempermudah pekerjaannya. Ilmu pengetahuan tersebut biasanya
bersinergi dengan ilmu pengetahuan yang lain sehingga muncul ilmu
pengetahuan baru hasil kerja sama dua ilmu pengatahuan dan akhirnya
mampu memunculkan ilmu-ilmu bantu dan teknologi baru. Perkembangan
dalam ilmu komunikasi dan ilmu komputer yang keduanya bersinergi maka
muncul alat komukasi baru, yaitu internet, Wartel, telkomsel,
telekonferensi, dan sebagainya.
Perkembangan disiplin baru, ilmu-ilmu
bantu yang sekarang ini sudah memasuki tahapan pasca modern dan
disiplin-disiplin tersebut saling berkaitan, misalnya di Fakultas
Peternakan mahasiswa tidak hanya menguasai bidang produksi makanan
ternak, nutrisi, sanitasi dan sebagainya, para mahasiswa juga dituntut
memiliki ilmu bantu misalnya marketting, komunikasi, penyuluhan, media
penyuluhan dan lain sebagainya. Hadirnya ilmu-ilmu bantu tersebut akan
menambah beban kredit yang harus ditempuh oleh mahasiswa; tetapi dipihak
lain perlu ada perampingan dimana pencapaian beban kredit cukup
berkisar antara 144-160 sks. Untuk itu, perlu meletakkan prorsi seimbang
antara kurikulum inti dan instituional.
4. Ideologis atau Cita-cita Masyarakat
Pada
masyarakat yang memiliki jiwa dinamis dan daya saing atau kompetetif
tinggi, perubahan cepat dan segera menjadi ukuran keberhasilan dan
kemajuan masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat dengan peradaban
tinggi, terdidik, idealis, dan progresif lebih mengutamakan perkembangan
dan kemajuan cepat untuk mendukung pencapaian cita-cita hidupnya. Hal
ini biasanya dijumpai dalam struktur masyarakat yang bersifat homogen.
Cita-cita masyarakat yang ingin misalnya membentuk lingkungan
hidupnya harmonis menghendaki tatanan nilai-nilai yang mendukung
kehidupan masyarakata harmonis. Untuk itulah, masyarakat menghendaki
lembaga pendidikan yang tujuannya juga ikut memelihara warisan budaya,
transmisi kultural yang menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan yang
seimbang. Masyarakat industri berbeda lagi, mereka menghendaki agar
lulusan pendidikan tinggi berorientasi pada kualitas kemampuan lulusan
yang produktif sehingga akan memajukan kesejahteraan ekonomi
masyarakatnya. Dan sebagainya.
5. Historis dan Sosiologis
Di
sisi lain, faktor historis dan sosiologis masyarakat turut serta dalam
mendorong perubahan kurikulum. Faktor historis masyarakat biasanya
mewarnai alur perkembangan kurikulum. Aspek-aspek nilai, norma, sejarah
masa lalu suatu masyarakat masih menjadi ukuran dan ciri khas suatu
masyarakat. Hetrogenitas masyarakat memberikan kontribusi bagi cepat
lambatnya suatu inovasi dalam bidang kurikulum. Sebagian masyarakat
ingin cepat maju, sebagian yang lain ingin sedang-sedang saja, dan
sebagian yang lain pula tidak ingin berubah dan tetap ingin
mempertahankan aspek-aspek nilai dan norma kemasyarakatan yang telah
berjalan selama ini.
Sebagian masyarakat yang ingin mempertahankan
kehidupan yang tetap stabil dan tidak ingin ada goncangan, perubahan
yang dikehendaki bukan perubahan revolusioner akan tetapi perubahan
evolusi, pelan tapi pasti. Perubahan kurikulum bisa dilakukan secara
tambal sulam, yang perlu diubah yang diubah dan yang perlu �dijaga�
kelestariannya tetap dipertahankan. Pola semacam ini banyak dialami
dalam proses perubahan kurikulum kita karena ada anggapan bahwa
kurikulum ini masih relevan .
6. Psikologis
Landasan
psikologis berkenaan dengan bagaimana belajar da-pat terjadi atau
pendekatan macam apa yang dipakai untuk membantu proses belajar.
Prinsip-prinsip belajar dan teori-teori belajar telah mem-berikan warna
dan nuansa kegiatan pembelajaran. Pemilihan dan im-plementasi teori
belajar telah mengubah wajah pelaksanaan proses pembelajaran dan
bagaimana materi atau bahan ajar diterima dan di-konstruksi oleh siswa.
Pemilihan atau seleksi isi materi ini berkenaan dengan minat dan
motivasi belajar siswa. Isi materi atau bahan ajar ini sangat terkait
dengan kurikulum. Penyajian atau penyampaian isi materi ini perlu
mempertimbangkan aspek tujuan yang ingin dicapai atau kompetensi macam
apa yang ingin diharapkan dimiliki oleh siswa, strategi atau metode,
alat dan sumber serta waktu.
Pemilihan isi materi dalam kurikulum ini
harus mempertimbangkan aspek usia dan jenjang belajar siswa . Dengan
demikian, kompetensi yang dituntut dari setiap siswa berbeda dengan yang
lainnya, termasuk juga tingkat penguasaanya.
Pemilihan atau seleksi
isi bahan kajian atau pengalaman belajar mahasiswa sangat terkait dengan
faktor psikologis, misalnya kebutuhan belajar, minat, motivasi, gairah
belajar, dan kemampuan intelektual dan sebagainya.
C. Bahan Kajian Pengembangan Kurikulum
1. Kurikulum sebagai curriculum policy
Secara sepihak kurikulum sebagai suatu proses politik.
Dikata-kan sebagai proses politik karena kurikulum ini merupakan proses
institusional. Pengambilan keputusan atau kebijakan tentang apa yang
harus dibelajarkan tidak pernah didasarkan pada kajian rasional atau
penelitian. Dan keputusan politis ini tidak dilandasi analisis kritis
tentang bahan kajian dalam disiplin ilmu, kebutuhan masyarakat, atau
kajian-kajian yang berkaitan dengan proses belajar peserta didik serta
kebutuhannya. Alasan yang dijadikan landasan berdasarkan bahwa hal ini
penting karena didasari otorisasi politis, siapa yang mengambil
keputusan.
Apa yang tertuang dalam dokumen tertulis, buku pedoman
un-iversitas atau fakultas dan apa yang seharusnya dibelajarkan dan
me-rupakan kompilasi yang harus dikuasai oleh mahasiswa selama mengikuti
pendidikan di perguruan tinggi.
2. Keputusan tentang Apa yang akan Diajarkan
Apa yang menjadi cita-cita ideal pengembang kurikulum adalah
bagaimana memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik. Selama ini
para mahasiswa atau para peserta didik lebih banyak mempelajari
kurikulum yang lebih memfokuskan pada academic course (Lee, Croninger,
& Smith, 1997).
Secara tradisional, bahwa kurikulum merupakan
daftar topik atau pokok bahasan. Pandangan kurikulum semacam ini
memberikan implikasi bahwa apa yang harus dipelajari oleh mahasiswa
berangkat dari serentetan paket-paket mata kuliah atau pokok bahasan.
Penggarapan kurikulum sebagai daftar topik, secara linier mengharuskan
mahasiswa �menelan� apa saja yang disajikan.
Apa yang dihayati dosen
seolah-olah menjadi faktor penentu keberhasilan mahasiswa. Penyikapan
tentang apa yang diberikan se-lama ini merupakan hal yang dianggap
penting untuk membekali ma-hasiswa. Hargreaves (1994) menyatakan bahwa
apa yang dipikirkan, diyakini, dan dilakukan dosen di kelas itulah yang
menjadi pembentuk belajar mahasiswa.
Namun demikian, apa yang terjadi
di kelas situasi dimana pen-galaman-pengalaman belajar dialami dan
dilakukan oleh mahasiswa menjadi lebih penting. Pengalaman belajar
mahasiswa sangat besar artinya dan mempunyai nilai fungsional manakala
pengalaman ini dialami sendiri (learning by doing). Dalam pandangan
teori konstruktivistik bahwa kurikulum ini sebagai a mind expanding
experience (Eisner, 1997). Batasan kurikulum ini lebih mendasarkan pada
apa yang sebenarnya dialami oleh mahasiswa di perguruan tinggi:
pandangan-pandangan, kecenderungan-kecenderungan, keterampilan, sikap-
yang berarti bahwa mahasiswa memiliki peran besar (McNeil, 1990) dalam
menentukan sesuatu yang dipelajarinya.
D. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Pemilihan bahan kurikulum yang baik merupakan bagian penting dalam
kaitan dengan proses pembelajaran secara keseluruhan. Para dosen yang
merealisasikan isi dan kualitas bahan kajian (kurikulum) tersebut
berpengaruh bukan hanya pada apa yang dipelajari mahasiswa tetapi juga
bagaimana sebaiknya mereka mempelajarinya.
Berkenaan dengan
pemilihan isi kurikulum tersebut, para pen-gembangan dan praktisi
kurikulum perlu memperhatikan beberapa prinsip dasar. Oliva (1992)
mengemukakan beberapa prinsip dasar, yang disebut aksioma.
1. Perubahan kurikulum adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari
Masyarakat
berkembang untuk mengadopsi dan mengadaptasi perubahan-perubahan yang
ada di sekelilingnya. Perubahan ini untuk merespon masalah-masalah
kontemporer yang dihadapi oleh masyarakat, yang mencakup masalah
lingkungan, nilai dan moralitas, keluarga, perubahan mikroelektronik,
dunia kerja, persamaan hak, krisis masyarakat, kriminal, dan sebagainya.
2. Kurikulum merupakan produk perubahan yang seiring dengan
waktu.
Perubahan selalu terjadi secara periodik berdasarkan alur waktu
tertentu. Para perencana dan pengembang kurikulum perlu mengidentifikasi
berbagai hal untuk membuat keputusan kurikulum pada masa mendatang.
3. Perubahan secara konkurensi atau secara bersamaan dengan hal lain. Perubahan dalam suatu komponen kurikulum bisa terjadi
perubahan
pada komponen lain secara bersamaan. Atau, akhir dari suatu perubahan
komponen menjadi awal bagi perbaikan kurikulum berikutnya.
4.
Perubahan kurikulum merupakan hasil perubahan dari orang-orang yang
terlibat di dalamnya. Pengembang kurikulum perlu mengawali perubahan
dari sisi manusianya karena pada dasarnya merekalah yang justru mengubah
kurikulum. Ini artinya ada upaya melibatkan orang-orang atau
pihak-pihak yang terkait dalam proses pengembangan kurikulum.
5. Perubahan kurikulum merupakan usaha bersama sekelompok
orang.
Perubahan kurikulum tidak bisa dilakukan secara terpi-sah-pisah,
melainkan dilakukan secara berkolaborasi. Artinya dalam proses perubahan
kurikulum melibatkan sekelompok orang yang memiliki peran dan tugas
sendiri-sendiri.
6. Perubahan kurikulum adalah proses pembuatan
keputusan. Para perencana kurikulum bekerja sama untuk memilih dan
menentukan disiplin, pandangan, tekanan, metode, dan organisasi
kurikulum.
7. Perubahan kurikulum merupakan proses berkelanjutan,
never-ending process. Kurikulum selalu diperbaiki dan disempurnakan
untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Kesempurnaan mutlak sebuah
kurikulum tidak pernah terjadi, karena tuntutan atau dinamika selalu
terjadi.
8. Perubahan kurikulum merupakan proses yang menyeluruh
atau komprehensif. Komprehensif ini meliputi bukan hanya melihat sisi
peserta didik atau mahasiswa, dosen, orang tua, dan program-programnya
saja tetapi juga melihat secara keseluruhan termasuk bentuk penyimpangan
yang mungkin bisa terjadi.
9. Perubahan kurikulum secara
sistematik lebih efektif daripada hanya sekedar uji coba. Pengembangan
kurikulum perlu dilakukan secara komprehensif atau menyeluruh dan
sistematis. Perubahan yang tidak memperhatikan berbagai aspek atau unsur
hanya akan membuang waktu, energi dan biaya. Perubahan kurikulum yang
dilakukan secara coba-coba akan memberikan dampak negatif, terutama pada
subjek didik dan masyarakat pengguna.
10. Perubahan kurikulum
dilakukan dengan memulai dari kurikulum yang ada. Pengembangan kurikulum
tidak bisa hanya dilakukan semalam, atau sekedar membalik telapak
tangan. Ada berbagai komponen perlu dipertimbangkan.
E. Pihak-pihak yang Terlibat dan Dampak Keputusan Kurikulum
1. Masyarakat
Masyarakat sebagai basis yang mendapat layanan hasil pendi-dikan
memiliki arti strategis dalam ikut serta (berperan serta) dalam
mengembang-kan kurikulum suatu lembaga. Masyarakat berperan se-bagai
sumber-sumber informasi penting bagi reformasi atau pembaharuan
kurikulum. Penyediaan sumber-sumber tersebut berupa kebutuhan-kebutuhan
dan minat-minat masyarakat setempat. Keterlibatan masyarakat ini
memberikan kontribusi bagi perguruan tinggi dalam kaitan dengan
penyerapan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat.
Semakin besar keterlibatan masyarakat, semakin tingii resistensi
perguruan tinggi terhadap masyarakat sekitarnya. Namun demikian,
Schaffarzick (1976) menyatakan bahwa peran serta atau partisipasi
masyarakat dalam kebijakan pengembangan kurikulum masih cenderung kecil,
masih nampak acuh tak acuh, reaktif, dan masih superficial. Hal ini
juga masih berlangsung hingga kini, bahwa masyarakat masih belum banyak
berkiprah banyak dan belum diajak bicara soal pengembangan kurikulum.
2. Institusi
Keterlibatan institusi dalam pengembangan kurikulum menjadi pola
pengembangan kurikulum selama ini. Tujuan lembaga melalui visi dan misi
perguruan tinggi membentuk profil lulusan, adalah sesuatu hal dasar.
Institutional-based system memerankan tugas utama dalam menjabarkan
keputusan centralized-board system. Tidak dapat dipungkiri, kebijakan
yang pemerintah pusat masih harus dijalankan lewat misi-misi perguruan
tinggi, yang notabene masih harus mendidik warganegara beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Misi-misi tersebut masih harus menjadi perhatian
pengembang kurikulum baik di tingkat pusat maupun di tingkat
universitas/fakultas/jurusan. Institusi perlu menjabarkan misi tersebut
walaupun harus mengurangi beban kredit (credit course) yang perlu
dikuasai oleh mahasiswa.
Pengembang kurikulum di tingkat
universitas, fakultas, dan jurusan memberikan warna (coloring) tentang
profil lulusan yang ingin dihasilkan. Keterlibatan staf akademik dalam
menyiapkan lulusan sekaligus membentuk �wajah lulusan� sangat strategis
kedudukannya. Dikatakan strategis karena peran para dosen dan staf
akademik ini secara langsung dapat memberikan kontribusinya bagi
penyiapan para lulusan di tingkat universitas, fakultas, dan jurusan.
3. Instruksional/Pembelajaran
Melalui proses pembelajaran di kelas, para dosen dan mahasis-wa
berinteraksi, pengembangan kurikulum menampakkan wujudnya. Proses
belajar dan pengalaman pembelajaran di kelas merupakan pengejawantahan
bahan kajian atau isi kurikulum. Keseluruhan proses-proses yang dilewati
atau keberlangsungan interaksi dosen-mahasiswa memberikan dampak
pembelajaran, instructional effect, yang secara langsung memberikan
urunan bagi terbentuknya penguasaan (mastery learning). Tingkat
penguasaan ini dapat diukur melalui alat ukur yang memiliki tingkat
validitas dan reliabilitas tinggi. Di samping dampak langsung
pembelajaran, proses pembelajaran memiliki dampak pengiring atau
penyerta, nurturent effect, di mana dampaknya berupa pembentukan sikap
dan perilaku misalnya menghargai pendapat orang lain, bersemangat,
motivasi tinggi, minat belajar dan sebagainya.
4).Personal
Secara perorangan biasanya terkait dengan kepakaran sesorang dalam
disiplin tertentu. Kepakaran dalam menguasai bidang tertentu sangat
dibutuhkan dalam rangka menunjang dan meningkatkan relevansi kurikulum.
Seseorang yang memiliki keahlian dan menaruh minatnya dalam pengembangan
disiplin ilmu tertentu memiliki dampak pada tingkat validitas eksternal
disiplin ilmu tersebut. Pengembangan bidang atau disiplin di suatu
fakultas menuntut adanya pihak-pihak tertentu baik secara kolegial
maupun perseorang untuk bekerja saling membantu dalam memajukan disiplin
bidang tersebut. Karena bidang garapan disiplin ilmu tertentu menuntut
keahlian yang dimiliki oleh orang lain di luar bidang tersebut.
F. Diferensiasi Kurikulum
1. Kurikulum ideal
Harapan-harapan dan rekomendasi yang dipikirkan oleh para ahli,
kelompok pemerhati, masyarakat, dan pemerintah agar lembaga pendidikan
mampu mengikuti arus perubahan perlu diakomodasikan dalam penyusunan
kurikulum. Berbagai harapan dan rekoemendasi yang diajukan, misalnya
perlu adanya kurikulum yang memuat pendidikan etika, kurikulum bagi anak
yang cerdas, kurikulum bagi multiple intelligence, dan sebagainya perlu
segera diwadahi. Bahkan pemerintah dianjurkan merancang kurikulum yang
dapat memenuhi pangsa pasar, sehingga lulusannya dapat bekerja setelah
menyelesaikan studinya.
Kurikulum ideal ini memuat cita-cita dan
tujuan nasional dan masyarakat/negara sehingga kurikulum ini mengandung
system nilai yang diyakini oleh suatu masyarakat.
2. Kurikulum formal
Kurikulum
formal sebagaimana tertuang dalam Garis-gasris Besar Program (GBPP).
Kurikulum formal berisi muatan isi bahan kajian yang perlu belajarkan
dan apa yang ingin dicapai oleh program studi (prodi) tertentu.
Kurikulum formal ini berupa pengalaman belajar tertulis (written
curriculum) yang didokumentasikan di program studi, yang dalam kurun
waktu tertentu harus dicapai oleh mahasiswa. Dokumentasi kurikulum yang
memuat tujuan kurikuler, bahan kajian dan pengalaman belajar, media dan
sumber, serta taksiran waktu yang diperlukan untuk menyajikan kurikulum
formal tersebut.
3. Kurikulum yang dihayati dosen
Apa
yang dialami dan dihayati oleh setiap dosen tentang kurikulum formal
memunculkan interpretasi atau penafsiran yang beragam. Setiap dosen atau
pengajar memiliki interpretasi tentang kurikulum formal yang beraneka
ragam. Dalam prakteknya, setiap dosen memiliki tingkat keputusan tentang
apa yang diajarkan dan harus dicapai oleh peserta didik. Penghayatan
yang berbeda dari seorang dosen dengan dosen lain, apabila tidak tidak
dilakukan shared-experience, akan melahirkan diferensiasi implementasi
kurikulum. Yang pada gilirannya, pengalaman belajar yang ditularkan
kepada mahasiswa akan bervariasi. Akibat lebih jauh, mahasiswa akan
mendapat pengalaman belajar yang sama sekali berbeda dan bahkan akhirnya
jauh dari tujuan yang diinginkan.
4. Kurikulum Operasional
Kurikulum
operasional ini berkenaan dengan apa yang benar-benar terjadi atau
berlangsung di dalam konteks kelas. Implementasi kurikulum di tingkat
kelas ini berupa interaksi antara dosen-mahasiswa, atau penggalian
pengalaman dilakukan sendiri oleh mahasiswa melalui bahan kajian/modul
yang dipelajarinya. Apa yang dipikirkan atau dihayati dan dialami oleh
dosen dalam implementasi di kelas kadangkala terjadi ketidaksejalanan.
Semakin kaya pengalaman belajar yang didapatkan oleh mahasiswa melalui
interaksi di kelas, semakin banyak kesempatan belajar yang didapat oleh
mahasiswa.
5. Kurikulum Eksperensial
Kurikulum
esperiensial ini berdasarkan pengalaman nyata ma-hasiswa di kelas. Apa
yang sebenarnya mereka peroleh dan pikirkan melalui penghayatan
(interaksi) di kelas. Pengalaman belajar mahasiswa berkaitan dengan
latar belakang mahasiswa, dan inilah yang memiliki kontribusi banyak
bagi perolehan (gained) mahasiswa di samping hasil interaksinya dengan
dosen.
G. Penutup
Perubahan kurikulum baik sebagian
maupun keseluruhan selalu dibutuhkan karena perubahan itu memang menjadi
bagian dari dinamika pendidikan. Disadari atau tidak, bahwa pendidikan
itu tidak lain adalah politik karena ditetapkan melalui kehidupan
tatanan berbangsa dan bernegara, melalui ketetapan majelis. Pada
gilirannya, kurikulum juga menjadi bagian dari proses pilitik tersebut
mengingat kurikulum merupakan keputusan nasional dan institusional.
Pihak-pihak yang terkait dan melibatkan diri dalam proses�proses
perubahan kurikulum menaruh perhatiannya pada perbaikan dan peningkatan
kualitas hasil yang lebih baik. Perhatian dan kepedu-lian ini diwujudkan
dalam bentuk keterlibatan aktif dan partisipasi dalam memperbaiki dan
menyempurnakan kurikulum.
Daftar Bacaan.
Eisner, E.W. (1997) Cognition and Representation. Phi Delta Kappan.
78. (5) 349-353.
Hargreaves, A. (1994) Changing Teachers, Changing Times.
London:Cassell.
McNeil, J.D. (1990) Curriculum: A Comprehensive Introduction. Glen-view, IL: A Division of Scott, Foresman and Company.
Oliva, P.F. (1992) Developing the Curriculum. New York: Harper Collins Publishers.
Schaffarzick,
J. (1976) Teachers and Lay participation in Local curricu-lum Change
Considerations. Paper presented at the American Educational Research
association Annual Meeting. San Fransisco, CA.